Akhir Desember selalu menjadi puncak kompetisi renang Indoensia dengan digelarnya Kejuaraan Renang Antar-Perkumpulan Se-Indonesia (KRAPSI). Ajang ini mempertemukan atlet-atlet renang terbaik perkumpulan renang se-Indonesia.
Tahun ini, KRAPSI diadakan di Kolam Renang Universitas Pendidikan
Tidak tanggung-tanggung, panitia pelaksana menjanjikan mesin pemanas kolam untuk mencapai suhu air sesuai standar Federasi Renang Internasional, yaitu 25 derajat celsius. Panitia juga menjanjikan akan menggunakan alat penghitung elektronik untuk menghindarkan kontroversi selisih waktu.
Ajang KRAPSI memang ajang penting buat penentuan peringkat atlet renang, baik secara nasional maupun provinsi. Baik buruknya hasil di KRAPSI dapat menentukan seorang perenang terpental dari persaingan.
Hal serupa dirasakan pula para perenang asal Provinsi DKI Jakarta. Seusai PON XVIII/Riau, September lalu, atlet renang DKI "dicekam" dengan isu masuknya atlet-atlet renang asal provinsi luar. Mereka mengincar posisi masuk dalam Pelatda DKI dan berkesempatan membela provinsi tersebut di ajang-ajang kompetisi nasional.
Ajang Kejuaraan Renang Antar-Perkumpulan Daerah (Krapda) DKI, awal Desember lalu, menimbulkan fenomena yang mengkhawatirkan atlet, pelatih, dan orang tua. Atlet-atlet renang asal provinsi lain ikut berlomba tanpa mengikuti prosedur atau tata cara kepindahan yang ada.
Fenomena atau kejanggalan itu antara lain berupa perubahan identitas atlet yang berbeda dengan provinsi asalnya, seperti yang dilakukan oleh atlet renang Eliza Delanira yang berasal dari
Padahal, penentuan perpindahan atlet cukup jelas. Tiga bulan untuk perpindahan antarklub dalam provinsi dan tiga bulan untuk antarklub antarprovinsi.
Penentuan waktu perpindahan ini ditentukan untuk menghargai keberadaan perkumpulan renang sebagai institusi pembina. Adanya waktu 3 hingga 6 bulan ini juga untuk menghindari fenomena "kutu loncat" ketika para perenang berpindah-pindah klub dalam waktu singkat.
Dalam beberapa kasus, perubahan identitas atlet untuk jangka panjang justru merugikan si atlet, seperti kasus yang menimpa Bayu Fiendra, 14, atlet layar asal Batam, Kepulauan Riau, yang membela DKI Jakarta di PON XVIII/Riau lalu.
Selama PON, Bayu bertanding dengan menggunakan nama Prastio Bayu Nugroho dan meraih medali perunggu sekaligus berhak atas bonus Rp 35 juta. Namun, di piagam penghargaan PON tertulis nama aslinya, Bayu Fiendra, sesuai nama yang ia sebut ketika ditanya oleh panitia pelaksana PON. Akibat perbedaan nama ini, administrasi pemberian bonus jadi terhambat. (Kompas, Minggu, 9 Desember).
Ketidakjelasan inilah yang dihadapi para atlet renang DKI saat ini. Mungkin memang perlu campur tangan Pak Gubernur untuk memperjelas hal ini untuk masa depan mereka. Dalam hal disiplin, para atlet muda ini jelas lebih baik dari oknum aparat pemerintah. Mereka memulai aktivitas keseharian mereka dengan berlatih renang pukul 04.30 sebelum menghadapi macet dan beban sekolah, tanpa terlambat pula. Sementara pada awal pelantikannya sebagai Gubernur DKI, Pak Jokowi kerap menemukan anak buahnya yang belum datang ke kantor pada pukul 08.00 pagi. (KOMPAS.com )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar